✔ Teladan Resensi Film Mengejar Matahari
Contoh resensi film yang diulas pada artikel kali ini mencoba mengatakan hasil Resensi Film "Mengejar matahari" supaya sanggup mengatakan sebuah pandangan baru wacana kehidupan kita dan mengatakan sedikit motifasi dalam meraih sebuah cita-cita. simaksaja dibawah ini, selamat menik mati hasil resensi sebagai berikut"
Hidup bagi saya ialah seleksi. Ada kelulusan dan kegagalan. Senang jikalau lulus, dan terus melanjutkan kehidupan ke tingkat seleksi yang lebih tinggi lagi. Kecewa, menyesal, atau putus asa bila mengalami kegagalan. Tetapi kehidupan itu sendiri terus berlanjut, berjalan terus tanpa berbalik lagi. Tidak juga menunggu, memberi-beri waktu pada apapun dan siapapun.
Semua berjalan membentuk lingkaran sebab-akibat, yang saya sebut sebagai siklus pasang-surut kehidupan. Begitu pula kehidupan keempat orang yang bersahabat dalam film “Mengejar Matahari” ini, mereka mengalami siklus kehidupan. Ada yang pasang, dan harus ada yang surut. Semua itu mengatakan keseimbangan pada dunia ini.
Nino, Apin, Damar, Ardi. Mereka bersahabat dari kecil. Hingga semuanya beranjak dewasa, dan satu per satu mereka pergi dengan banyak sekali problem yang dihadapi.
Nino, dimunculkan sebagai tokoh yang kaya, tenang, tidak memiliki masalah, tidak neko-neko. Ia sebagai penyeimbang saat terjadi bentrokan yang ada dalam tubuh persahabatan yang mereka bangun.
Apin, digambarkan sebagai budbahasa pecinta seni, terutama film, karena ia bercita-cita sebagai sutradara. Ia ialah orang yang banyak disukai temannya, ceria dan mencoba menengahi suasana panas yang terjadi, mirip juga Nino. Tetapi Apin yang bertubuh kecil, ringkih, menuntut untuk dilindungi oleh ketiga sahabatnya yang lain.
Ardi, anak yang terkekang oleh aturan-aturan ayahnya, ia dicetak untuk menjadi seorang polisi, kedisiplinan membuat ia menuai sukses pada final cerita. Sebelum bertindak ia memikirkan dulu apa akibatnya, tidak mirip Damar.
Damar, si Badung, simpel tersinggung, andal berantem, emosinya suka meledak-ledak. Ia seseorang yang membuat saya harus flashback dan bercermin sangat dekat dengannya. Sebab masa kecil saya sangat badung, pemberontak sejati yang suka sekali tawuran, simpel meledak-ledak, apalagi jikalau mendengar ada orang yang ngomongin bapak dan ibu saya, karena saya menganggap itu tidak perlu. Kedua orang kedaluwarsa tanah ialah urusan saya sendiri, karena saya yang tahu dan yang merasakan apa yang terjadi di tubuh keluarga saya sendiri.
Saya bisa menempatkan diri sendiri sebagai ARDI. Diatur, dikekang, dan diberlakukan hidup disiplin (terutama pada waktu dan berbicara dengan orang yang lebih tua). Dulu saya memberontak karena keterkekangan tersebut, tetapi sehabis melalui masa-masa SMP dan SMA, saya baru menginsafi bahwa kedisiplinan dan otoritas orang kedaluwarsa tanah demi kebaikan saya juga.
Di saat teman-teman bermain boneka, bermain ‘pasaran’, saya harus tetap berada di rumah—menjalani perawatan intensif di rumah karena sedang sakit, memikirkan apa-apa yang akan saya lakukan ke depannya, merintis tabungan rupiah demi rupiah (sebab dulu saya sangat menginginkan sekolah di kedokteran).
Masa SMP saya habiskan untuk sekolah, tawuran, menentang aturan sekolah, membantu usaha orang kedaluwarsa tanah yang baru saja dirintis, dan mencari Tuhan hingga akhirnya menetapkan pilihan di Islam. Semua warna hidup sepertinya tertuang di saat ini. Saya sudah tidak ada waktu untuk berurusan dengan yang namanya pacaran sehabis Afik meninggal.
Saat SMA saya sudah terlarutkan oleh yang namanya kedisiplinan (sekolah saya bersistem semi militer), membuat ukiran pena kreatif (yang sekarang sudah tidak ada lagi karena ikut terbawa banjir), buku-buku pelajaran yang semakin hari semakin mahal, oleh remidi-remidi pelajaran eksakta.
Belum lagi rutinitas mading (majalah dinding) di perpustakaan, dan perjalanan Juwana-Surabaya-Madura di final pekan (untuk bertemu pelanggan usahanya bapak), dan mengejar ketertinggalan pelajaran dari anak IPA (karena dulu saya dianggap kolot oleh anak IPA, maka saya membuktikannya di IPS dan ternyata saya tidak begitu bodoh—bahkan terbilang mampu, itu pun ucapan dari guru-guru saya, terutama guru Ketatanegaraan, Sosiologi-Antropologi, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan saya). Saya bisa menerangkan eksistensi saya dengan pentas dan keradikalan saya berpendapat.
Hingga akhirnya dengan sangat simpel saya diterima di universitas negeri jalur SPMP atau PMDK di jurusan yang dari dulu, dari SD, sudah ada dalam benak saya: Sastra Indonesia!
Saya baru menyadari: inilah buah kedisiplinan yang mengekang, kesakitan dan kemarginalan yang kemarin saya rasakan. Indah sekali. Tidak sanggup dibayangkan. Saya mirip lulus seleksi dari mereka-mereka yang dulu ‘sok’ dan ‘menyingkirkan’ saya. Kini saya sanggup melihat, dari angkatan saya yang bisa mengenyam pendidikan dan pengetahuan lebih tinggi hanya beberapa saja. Mungkin saya ada di dalamnya.
Bukannya sombong, tetapi inilah yang bersama-sama terjadi. Tetapi flashback mirip ini saya baru sadar bahwa ternyata saya sendirian. Saya sangat ‘menyendiri’ menjadi orang, terkesan egois mungkin. Hingga kini, tidak ada ‘sahabat’ dalam kamus kehidupan saya. Teman atau sobat dekat memang tak terhitung, tetapi yang namanya sahabat tidak ada sama sekali sehabis kepergian Afik untuk selama-lamanya.
Bercermin dari film “Mengejar Matahari”, saya ialah abjad keempat sahabat tersebut. Sifat-sifat mereka ‘mix’, tercampur dalam diri saya. Tetapi kesuksesan yang Ardi raih membuat saya kompromi dengan karakternya. Seseorang yang akhirnya bisa sukses sehabis melalui kesakitan sebagai pesakitan. Ardi bisa hidup sehabis kematian Apin, sahabatnya yang paling dekat dengannya.
Begitu pula saya, saya mencoba menikmati, menjalani, dan mengisi kehidupan selanjutnya sehabis meninggalnya Afik. Kehidupan terus berlanjut, tidak sanggup lagi berbalik menoleh ke belakang. Untuk apa saya melarutkan diri dengan hal-hal yang tidak memiliki kegunaan mirip kesedihan, sedang saya tahu Afik juga tidak akan kembali lagi?
Film ini bagus sekali ditonton oleh mereka-mereka para remaja yang keadaan psikologinya belum menentu. Agar mereka menerima acuan wacana kehidupan dalam pelajarannya untuk hidup.
Demikian contoh resensi film yang bisa admin bagikan supaya bermanfaat.
Contoh Resensi Film "Mengejar Matahari"
Berikut contoh resensi film mengejar matahari :Hidup bagi saya ialah seleksi. Ada kelulusan dan kegagalan. Senang jikalau lulus, dan terus melanjutkan kehidupan ke tingkat seleksi yang lebih tinggi lagi. Kecewa, menyesal, atau putus asa bila mengalami kegagalan. Tetapi kehidupan itu sendiri terus berlanjut, berjalan terus tanpa berbalik lagi. Tidak juga menunggu, memberi-beri waktu pada apapun dan siapapun.
Semua berjalan membentuk lingkaran sebab-akibat, yang saya sebut sebagai siklus pasang-surut kehidupan. Begitu pula kehidupan keempat orang yang bersahabat dalam film “Mengejar Matahari” ini, mereka mengalami siklus kehidupan. Ada yang pasang, dan harus ada yang surut. Semua itu mengatakan keseimbangan pada dunia ini.
Nino, Apin, Damar, Ardi. Mereka bersahabat dari kecil. Hingga semuanya beranjak dewasa, dan satu per satu mereka pergi dengan banyak sekali problem yang dihadapi.
Nino, dimunculkan sebagai tokoh yang kaya, tenang, tidak memiliki masalah, tidak neko-neko. Ia sebagai penyeimbang saat terjadi bentrokan yang ada dalam tubuh persahabatan yang mereka bangun.
Apin, digambarkan sebagai budbahasa pecinta seni, terutama film, karena ia bercita-cita sebagai sutradara. Ia ialah orang yang banyak disukai temannya, ceria dan mencoba menengahi suasana panas yang terjadi, mirip juga Nino. Tetapi Apin yang bertubuh kecil, ringkih, menuntut untuk dilindungi oleh ketiga sahabatnya yang lain.
Ardi, anak yang terkekang oleh aturan-aturan ayahnya, ia dicetak untuk menjadi seorang polisi, kedisiplinan membuat ia menuai sukses pada final cerita. Sebelum bertindak ia memikirkan dulu apa akibatnya, tidak mirip Damar.
Damar, si Badung, simpel tersinggung, andal berantem, emosinya suka meledak-ledak. Ia seseorang yang membuat saya harus flashback dan bercermin sangat dekat dengannya. Sebab masa kecil saya sangat badung, pemberontak sejati yang suka sekali tawuran, simpel meledak-ledak, apalagi jikalau mendengar ada orang yang ngomongin bapak dan ibu saya, karena saya menganggap itu tidak perlu. Kedua orang kedaluwarsa tanah ialah urusan saya sendiri, karena saya yang tahu dan yang merasakan apa yang terjadi di tubuh keluarga saya sendiri.
Saya bisa menempatkan diri sendiri sebagai ARDI. Diatur, dikekang, dan diberlakukan hidup disiplin (terutama pada waktu dan berbicara dengan orang yang lebih tua). Dulu saya memberontak karena keterkekangan tersebut, tetapi sehabis melalui masa-masa SMP dan SMA, saya baru menginsafi bahwa kedisiplinan dan otoritas orang kedaluwarsa tanah demi kebaikan saya juga.
Di saat teman-teman bermain boneka, bermain ‘pasaran’, saya harus tetap berada di rumah—menjalani perawatan intensif di rumah karena sedang sakit, memikirkan apa-apa yang akan saya lakukan ke depannya, merintis tabungan rupiah demi rupiah (sebab dulu saya sangat menginginkan sekolah di kedokteran).
Masa SMP saya habiskan untuk sekolah, tawuran, menentang aturan sekolah, membantu usaha orang kedaluwarsa tanah yang baru saja dirintis, dan mencari Tuhan hingga akhirnya menetapkan pilihan di Islam. Semua warna hidup sepertinya tertuang di saat ini. Saya sudah tidak ada waktu untuk berurusan dengan yang namanya pacaran sehabis Afik meninggal.
Saat SMA saya sudah terlarutkan oleh yang namanya kedisiplinan (sekolah saya bersistem semi militer), membuat ukiran pena kreatif (yang sekarang sudah tidak ada lagi karena ikut terbawa banjir), buku-buku pelajaran yang semakin hari semakin mahal, oleh remidi-remidi pelajaran eksakta.
Belum lagi rutinitas mading (majalah dinding) di perpustakaan, dan perjalanan Juwana-Surabaya-Madura di final pekan (untuk bertemu pelanggan usahanya bapak), dan mengejar ketertinggalan pelajaran dari anak IPA (karena dulu saya dianggap kolot oleh anak IPA, maka saya membuktikannya di IPS dan ternyata saya tidak begitu bodoh—bahkan terbilang mampu, itu pun ucapan dari guru-guru saya, terutama guru Ketatanegaraan, Sosiologi-Antropologi, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan saya). Saya bisa menerangkan eksistensi saya dengan pentas dan keradikalan saya berpendapat.
Hingga akhirnya dengan sangat simpel saya diterima di universitas negeri jalur SPMP atau PMDK di jurusan yang dari dulu, dari SD, sudah ada dalam benak saya: Sastra Indonesia!
Saya baru menyadari: inilah buah kedisiplinan yang mengekang, kesakitan dan kemarginalan yang kemarin saya rasakan. Indah sekali. Tidak sanggup dibayangkan. Saya mirip lulus seleksi dari mereka-mereka yang dulu ‘sok’ dan ‘menyingkirkan’ saya. Kini saya sanggup melihat, dari angkatan saya yang bisa mengenyam pendidikan dan pengetahuan lebih tinggi hanya beberapa saja. Mungkin saya ada di dalamnya.
Bukannya sombong, tetapi inilah yang bersama-sama terjadi. Tetapi flashback mirip ini saya baru sadar bahwa ternyata saya sendirian. Saya sangat ‘menyendiri’ menjadi orang, terkesan egois mungkin. Hingga kini, tidak ada ‘sahabat’ dalam kamus kehidupan saya. Teman atau sobat dekat memang tak terhitung, tetapi yang namanya sahabat tidak ada sama sekali sehabis kepergian Afik untuk selama-lamanya.
Bercermin dari film “Mengejar Matahari”, saya ialah abjad keempat sahabat tersebut. Sifat-sifat mereka ‘mix’, tercampur dalam diri saya. Tetapi kesuksesan yang Ardi raih membuat saya kompromi dengan karakternya. Seseorang yang akhirnya bisa sukses sehabis melalui kesakitan sebagai pesakitan. Ardi bisa hidup sehabis kematian Apin, sahabatnya yang paling dekat dengannya.
Begitu pula saya, saya mencoba menikmati, menjalani, dan mengisi kehidupan selanjutnya sehabis meninggalnya Afik. Kehidupan terus berlanjut, tidak sanggup lagi berbalik menoleh ke belakang. Untuk apa saya melarutkan diri dengan hal-hal yang tidak memiliki kegunaan mirip kesedihan, sedang saya tahu Afik juga tidak akan kembali lagi?
Film ini bagus sekali ditonton oleh mereka-mereka para remaja yang keadaan psikologinya belum menentu. Agar mereka menerima acuan wacana kehidupan dalam pelajarannya untuk hidup.
Demikian contoh resensi film yang bisa admin bagikan supaya bermanfaat.
Belum ada Komentar untuk "✔ Teladan Resensi Film Mengejar Matahari"
Posting Komentar