✔ Teladan Resensi Buku Dari Novel Pengesahan Pariyem
Contoh Resensi Buku "Novel Pengakuan Priyem" ini merupakan resensi yang dibuat saudara saya ketika kuliah mengambil jurusan sastra di salah satu perguruan swasta, karena menurut admin resensi ini akan memiliki kegunaan sebagai pembalajaran kalian makanya admin posting saja.
b. Bentuk : Novel
c. Karya : Linus Suryadi Ag.
d. Jenis : Drama Teater
e. Isi :
Pariyem perempuan Jawa yang juga sama dengan perempuan sedunia, se-Indonesia, se-Jawa dan se-Gunung Kidul lainnya. Tak ubahnya ratu Elisabeth atau istri presiden bahkan ibu rumah tangga lainnya. Yang membedakannya yakni sifat nrimo ing pandum yang kini sudah tidak terpakai lagi, yang disebut sikap bodoh di zaman emansipasi. Apalagi kurun dua puluh yang tertinggal jauh bersama dengan kawin paksa dan selir-selirnya raja.
Namun, Pariyem kini dimunculkan Linus Suryadi Ag. lewat “Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa)” sebagai tokoh yang mewakili kehidupan perempuan bernasib sama yang masih diselimuti kabut. Kalau boleh menengok kepada fakta yang bersama-sama sih berbagai “Pariyem” yang rela atau legawa disimpan lelaki berpangkat dan berharta. Seperti para pengusaha, pejabat pemerintahan, dan para pemangku agama.
“Pariyem”nya Linus Suryadi dilukiskan udik, dari Gunung Kidul yang gersang jikalau kemarau dan masih terbelakang dalam aneka macam hal. Kebersahajaannya dalam memikirkan sesuatu menjadikannya perempuan yang beringas dalam tameng kelemahlembutan seorang perempuan Jawa yang nggregetno sekali. Keluguannya ibarat mengajak Tuhan untuk mengampuni dosa-dosanya dalam perzinahan. Tengoklah pecahan kisah berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. ‘Iyem’ panggilan sehari-harinya. Saya bocah gunung, melarat badan dan jiwa harta karun saya…” (hal. 4).
“… O, Allah, Gusti Nyuwun Ngapura. Saya krasan di salam kehidupan. Saya krasan walaupun kesunyian. Biar makan gaplek, makan tela. Tak akan saya tinggalkan.” (hal.52)
“o, Allah, Gusti nyuwun ngapura. Kami telanjang bulat. Bibir saya diciumnya. Ciuman pertama dari seorang pria. Penthil saya diremasnya. Remasan pertama dari seorang pria…” (hal.82)
Novel ini merupakan prosa liris yang kental sekali nuansa Jawanya. Apalagi dengan setting Yogyakarta yang tidak sanggup lepas dengan kehidupan kawula alit pada raja dan keturunannya. Maka korelasi intim melaui jalur perkawinan maupun tidak. dengan darah biru, merupakan keberuntungan atau malah suatu nasib mujur bagi orang ibarat Pariyem dan aneka macam jenis perempuan yang memiliki kiblat pemikiran serupa dia. Hal ini tampak dalam pecahan berikut:
“Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku. Thuyul yang ada di rahimmmu itu bakal cucuku bukan tanpa eyang. Dia cucu nDoro Ayu, punya putri. Dia keponakan Wiwit, bukan tanpa bulik. Dia anak Ario, bukan tanpa ayah. Dia anak Ario, bukan bocah jadah. Kowe satu potongan dari keluarga di sini. Bila kowe sakit keluarga pun menangung. Kita memelihara dan melestarikan hidup dengan saling kasih dan saling sayang…” (hal.194-195).
Dalam kalimat-kalimat Pariyem di mukalah sanggup penulis ketahui bahwa Pariyem diterima sebagai selir tanpa kesepakatan nikah yang sah. Begitu saja dia mendapat statusnya sebagai selir, yang bagaimanapun tetap berkesan negatif. Dengan bahasa yang arkais ia sanggup disebut : “Pelacur Domestik Khas Jawa” yang menggemaskan istri-istri yang suaminya dipersilakan meniduri perempuan ibarat Pariyem dengan leluasa. Kalau sudah begitu, dia pun merebut kedudukan cintanya dengn suaminya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan oleh perempuan selepas jamannya Pariyem. Bahkan di tahun 2006 ini, ataupun di tahun dan zaman yang peradabannya lebih baru lagi.
Tampaknya permasalahan agama gonjang-ganjing dalam kehidupan Pariyem. Agaam apapun jadi, hanya saja perlu diingat asal ada Tuhan saja. Tuhan yang satu bagi anggapan Pariyem yang lugu dan nerimo. Maka sebagai orang Jawa, konsepsinya pun jadi nJawani. Tuhannya pun asal jadi. Ya, Njawani juga. Namun, perlu digaris bawahi omongan Pariyem bahwa agama apapun akan menjadi sebagai alat perusak jikalau disalah wewengkan. Lihatlah pengakuannya berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. Adapun kepercayaan saya: mistik Jawa. Tapi dalam kartu penduduk oleh Pak Lurah dituliskan saya beragama Katolik.” (hal.13).
“… Atas nama Tuhan lewat agama apapun sanggup berubah Neraka. Agama dan Tuhan menjadi sandaran buat kasak-kusuk dan pokrol bambu. Nafsu, emosi dan sentimen pribadi menjadi halal jikalau atas nama Tuhan. Peperangan yakni buahnya… ” (hal.16-17).
Meskipun demikian, karya Linus ini berbagai pelajaran mengenai hidupnya. Tapi kebanyakan amanat yang ingin disampaikan penulis tersirat dan mengalir begitu saja. Seperti kata-kata arkaisnya yang bagaimanapun juga sangat tajam, pengarang sanggup membuat pembaca mengulang bahasa-bahasa di dalamnya. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan sedikit filsafatis.
Satu hal yang perlu diperhatikan, dan ini merupakan potongan terpenting, yakni novel ini tidak cocok untuk konsumsi anak di bawah umur. Eksistensi acara seksual yang vulgar serta nJawani kurang layak dibaca. Belum saatnya pola pikit anak-anak dicampuri pola pikir orang dewasa.
Namun, dari segi tema yang didukung kekuatan bahasanya membuat penulis salut. Linus menggamblangkan tabir yang selama ini melingkupi kehidupan keraton yang selama ini dipertuhankan oleh orang-orang awam. Selayaknya melalui karya ini orang tersebut sanggup berfikir dewasa. Bahwa adarah biru atau bukan sama-sama manusia. Punya nafsu dan keburukan tabiat sama ibarat orang yang berdarah A, B, O atau AB. Bahkan mereka tidak jarang yang bersikap sadistis. Akhlaknya lebih jongkok dari orang biasa.
Penulis mengharapkan bagi pembaca yang belum membaca karya Linus untuk segera membacanya. Mungkin pembaca akan mendapat wejangan yang sama ibarat yang penulis dapatkan. Tendensi yang ditawarkan oleh pengarang sungguh luar biasa. Apalagi bahasanya yang tidak menuding pada orang per orang.
Demikian contoh lengkap resensi buku dari sebuah novel yang berjudul ratifikasi priyem semoga bermanfaat untuk kalian semua.
Contoh resensi novel " ratifikasi pariyem"
a. Judul : Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa)b. Bentuk : Novel
c. Karya : Linus Suryadi Ag.
d. Jenis : Drama Teater
e. Isi :
Pariyem perempuan Jawa yang juga sama dengan perempuan sedunia, se-Indonesia, se-Jawa dan se-Gunung Kidul lainnya. Tak ubahnya ratu Elisabeth atau istri presiden bahkan ibu rumah tangga lainnya. Yang membedakannya yakni sifat nrimo ing pandum yang kini sudah tidak terpakai lagi, yang disebut sikap bodoh di zaman emansipasi. Apalagi kurun dua puluh yang tertinggal jauh bersama dengan kawin paksa dan selir-selirnya raja.
Namun, Pariyem kini dimunculkan Linus Suryadi Ag. lewat “Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa)” sebagai tokoh yang mewakili kehidupan perempuan bernasib sama yang masih diselimuti kabut. Kalau boleh menengok kepada fakta yang bersama-sama sih berbagai “Pariyem” yang rela atau legawa disimpan lelaki berpangkat dan berharta. Seperti para pengusaha, pejabat pemerintahan, dan para pemangku agama.
“Pariyem”nya Linus Suryadi dilukiskan udik, dari Gunung Kidul yang gersang jikalau kemarau dan masih terbelakang dalam aneka macam hal. Kebersahajaannya dalam memikirkan sesuatu menjadikannya perempuan yang beringas dalam tameng kelemahlembutan seorang perempuan Jawa yang nggregetno sekali. Keluguannya ibarat mengajak Tuhan untuk mengampuni dosa-dosanya dalam perzinahan. Tengoklah pecahan kisah berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. ‘Iyem’ panggilan sehari-harinya. Saya bocah gunung, melarat badan dan jiwa harta karun saya…” (hal. 4).
“… O, Allah, Gusti Nyuwun Ngapura. Saya krasan di salam kehidupan. Saya krasan walaupun kesunyian. Biar makan gaplek, makan tela. Tak akan saya tinggalkan.” (hal.52)
“o, Allah, Gusti nyuwun ngapura. Kami telanjang bulat. Bibir saya diciumnya. Ciuman pertama dari seorang pria. Penthil saya diremasnya. Remasan pertama dari seorang pria…” (hal.82)
Novel ini merupakan prosa liris yang kental sekali nuansa Jawanya. Apalagi dengan setting Yogyakarta yang tidak sanggup lepas dengan kehidupan kawula alit pada raja dan keturunannya. Maka korelasi intim melaui jalur perkawinan maupun tidak. dengan darah biru, merupakan keberuntungan atau malah suatu nasib mujur bagi orang ibarat Pariyem dan aneka macam jenis perempuan yang memiliki kiblat pemikiran serupa dia. Hal ini tampak dalam pecahan berikut:
“Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku. Thuyul yang ada di rahimmmu itu bakal cucuku bukan tanpa eyang. Dia cucu nDoro Ayu, punya putri. Dia keponakan Wiwit, bukan tanpa bulik. Dia anak Ario, bukan tanpa ayah. Dia anak Ario, bukan bocah jadah. Kowe satu potongan dari keluarga di sini. Bila kowe sakit keluarga pun menangung. Kita memelihara dan melestarikan hidup dengan saling kasih dan saling sayang…” (hal.194-195).
Dalam kalimat-kalimat Pariyem di mukalah sanggup penulis ketahui bahwa Pariyem diterima sebagai selir tanpa kesepakatan nikah yang sah. Begitu saja dia mendapat statusnya sebagai selir, yang bagaimanapun tetap berkesan negatif. Dengan bahasa yang arkais ia sanggup disebut : “Pelacur Domestik Khas Jawa” yang menggemaskan istri-istri yang suaminya dipersilakan meniduri perempuan ibarat Pariyem dengan leluasa. Kalau sudah begitu, dia pun merebut kedudukan cintanya dengn suaminya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan oleh perempuan selepas jamannya Pariyem. Bahkan di tahun 2006 ini, ataupun di tahun dan zaman yang peradabannya lebih baru lagi.
Tampaknya permasalahan agama gonjang-ganjing dalam kehidupan Pariyem. Agaam apapun jadi, hanya saja perlu diingat asal ada Tuhan saja. Tuhan yang satu bagi anggapan Pariyem yang lugu dan nerimo. Maka sebagai orang Jawa, konsepsinya pun jadi nJawani. Tuhannya pun asal jadi. Ya, Njawani juga. Namun, perlu digaris bawahi omongan Pariyem bahwa agama apapun akan menjadi sebagai alat perusak jikalau disalah wewengkan. Lihatlah pengakuannya berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. Adapun kepercayaan saya: mistik Jawa. Tapi dalam kartu penduduk oleh Pak Lurah dituliskan saya beragama Katolik.” (hal.13).
“… Atas nama Tuhan lewat agama apapun sanggup berubah Neraka. Agama dan Tuhan menjadi sandaran buat kasak-kusuk dan pokrol bambu. Nafsu, emosi dan sentimen pribadi menjadi halal jikalau atas nama Tuhan. Peperangan yakni buahnya… ” (hal.16-17).
Meskipun demikian, karya Linus ini berbagai pelajaran mengenai hidupnya. Tapi kebanyakan amanat yang ingin disampaikan penulis tersirat dan mengalir begitu saja. Seperti kata-kata arkaisnya yang bagaimanapun juga sangat tajam, pengarang sanggup membuat pembaca mengulang bahasa-bahasa di dalamnya. Hal ini disebabkan bahasa yang digunakan sedikit filsafatis.
Satu hal yang perlu diperhatikan, dan ini merupakan potongan terpenting, yakni novel ini tidak cocok untuk konsumsi anak di bawah umur. Eksistensi acara seksual yang vulgar serta nJawani kurang layak dibaca. Belum saatnya pola pikit anak-anak dicampuri pola pikir orang dewasa.
Namun, dari segi tema yang didukung kekuatan bahasanya membuat penulis salut. Linus menggamblangkan tabir yang selama ini melingkupi kehidupan keraton yang selama ini dipertuhankan oleh orang-orang awam. Selayaknya melalui karya ini orang tersebut sanggup berfikir dewasa. Bahwa adarah biru atau bukan sama-sama manusia. Punya nafsu dan keburukan tabiat sama ibarat orang yang berdarah A, B, O atau AB. Bahkan mereka tidak jarang yang bersikap sadistis. Akhlaknya lebih jongkok dari orang biasa.
Penulis mengharapkan bagi pembaca yang belum membaca karya Linus untuk segera membacanya. Mungkin pembaca akan mendapat wejangan yang sama ibarat yang penulis dapatkan. Tendensi yang ditawarkan oleh pengarang sungguh luar biasa. Apalagi bahasanya yang tidak menuding pada orang per orang.
Demikian contoh lengkap resensi buku dari sebuah novel yang berjudul ratifikasi priyem semoga bermanfaat untuk kalian semua.
Belum ada Komentar untuk "✔ Teladan Resensi Buku Dari Novel Pengesahan Pariyem"
Posting Komentar